“Jika
gajah tak lagi mati meninggalkan gading, cukuplah manusia yang meninggalkan
kesan, bahwa anak cucu mereka menitip pesan, tak ingin cerita satwa berbelalai
panjang hanya legenda pepesan”
Kebun Binatang, 22 Maret 2012
Oleh pawangku, aku dipanggil Bona. Seekor
hewan yang berbelalai panjang yang karena sepasang gading indahku, sering
diburu kalangan manusia. Menurut silsilah, aku merupakan keturunan dari gajah
sumatera (Elephas maximus sumatranus). Manusia
menyepakati jenisku dikategorikan dalam Endangered
species. Sementara pada CITES (Convention on International Trade of Endangered
Fauna and Flora / Konvensi tentang Perdagangan International Satwa
dan Tumbuhan), mengkategorikanku dalam kelompok Appendix I.
Usiaku tak muda lagi, tak mampu menari
gemulai, berlari menendang bola kaki sebagaimana kebiasaanku bertahun tahun di
arena sirkus. Yah, aku pensiun sekarang, tak lagi tour dari kota ke kota lain. Hanya menunggu masa dimana manusia
sisa menanam bangkaiku.
Kupikir, usiaku memang tak berapa lama lagi. Kandangku sudah sangat tak terurus lagi. Makanan yang disediakan di kebun binatang tempat penitipanku sangat terbatas. Lebih banyak jumlah kilatan kilatan blits kamera yang kadang menyilaukan mataku, membangunkanku untuk sekedar menyaksikan manusia berpoto dengan badan lunglaiku sebagai latarnya. Mungkin badanku dehidrasi, aku haus sekali. Padahal hari ini manusia peringati sebagai hari air sedunia.
Kupikir, usiaku memang tak berapa lama lagi. Kandangku sudah sangat tak terurus lagi. Makanan yang disediakan di kebun binatang tempat penitipanku sangat terbatas. Lebih banyak jumlah kilatan kilatan blits kamera yang kadang menyilaukan mataku, membangunkanku untuk sekedar menyaksikan manusia berpoto dengan badan lunglaiku sebagai latarnya. Mungkin badanku dehidrasi, aku haus sekali. Padahal hari ini manusia peringati sebagai hari air sedunia.
Jika esok adalah saat kematianku, maka tak
ada yang bisa aku tinggalkan sebagaimana species sejenisku di alam liar yang
mati meninggalkan gading. Sepasang mahkota indahku itu telah lama hilang,
mungkin dititip di ruang tamu manusia manusia berduit. Bijaklah rasanya jika kemudian catatan keluh kesah galau ini yang kusisa, berharap manusia
bisa membaca dengan mata hatinya.
Mungkin sebagian dari kenalan kalian,
keluarga, rekan kerja, relasi bisnis atau mungkin anda secara pribadi pernah
merogoh beberapa lembar uang untuk membeli sebuah tiket pertunjukkan sirkus gajah
atau jenis satwa lainnya. Decak kagum dan tepuk tangan riuh, dengan ikhlas kalian
persembahkan dari setiap aksi yang sukses kami lakukan, sang objek
pertunjukkan. Berbagai dalih menjadi bekal keputusan kalian menonton
pertunjukkan kami. Dari sekedar melepas penat di akhir minggu setelah 5 hari
kerja kalian habiskan di instansi yang menjadi ladang rejeki keluarga hingga
kemudian dengan sengaja memboyong sang buah hati yang beranjak remaja demi
pendidikan cinta lingkungan (satwa) menurut persepsi kalian.
Terkadang fatwa pujangga yang berkata bahwa
‘tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta’, dijadikan sabda sahih.
Keputusan untuk mengenalkan jenis jenis satwa yang dipertunjukkan seperti kami di
ajang sirkus bagi orang orang di sekeliling kalian dengan tujuan timbulnya rasa
cinta pada bangsa kami.
Sang pawang bersama announcer pertunjukkan tak kalah lihainya menguatkan persepsi anda.
“Hadirin yang budiman, berikan aplaus buat si Bona, sang gajah jantan yang
sukses menyarangkan bola ke gawang lawan, satwa ini adalah species dilindungi
dan kewajiban kita bersama untuk menjaga dan melestarikannya”.
Setengah berbisik, kuping sang buah hati
turut dimanja “Nak, binatang ini dilindungi, tidak boleh dibunuh, dia harus disayang,
diberi makan enak, dibuatkan tempat tidur, kalo sakit diberi obat….”
***
Kebun Binatang, 22 April 2012
Hari ini bertepatan dengan peringatan hari
bumi. Seharusnya berarti bahwa kami bebas berkeliaran di atas bumi indah ini
dengan sesuka hati. Tapi tahukah kalian, beberapa sahabatku yang anda saksikan
di arena pertunjukkan sirkus, sebagian besar merupakan species yang sudah
tinggal dalam jangka waktu yang lama di kandang kandang penampungan. Sebagian
besar bahkan telah dipenjara dari
usia yang masih sangat muda dengan alasan bahwa satwa liar dengan usia muda
akan lebih mudah dilatih dibanding jenis yang sudah dewasa.
Masih sulit kulupakan beberapa waktu yang
lampau, saat suara keras dari senjata laras panjang memecah gendang telinga
lebarku yang kemudian seketika tubuh besar ibuku jatuh terkapar bersimbah
darah. Gading indahnya dicabut kemudian dibawa pergi bersama dengan tubuh
kecilku yang tak kuasa meronta.
Beberapa cerita yang lebih miris kemudian
kudengar dari sebangsaku, ratapan yang tak pernah manusia dengarkan seksama.
Hanya aku, rekan sesama profesi sebagai satwa sirkus yang bisa memahami.
Sahabatku si lumba lumba dan singa laut
mengisahkan dirinya yang diburu di beberapa belahan dunia. Penangkapan besar
besaran species lumba lumba pernah dilakukan dilakukan di kota Taiji, Jepang.
Setiap tahunnya bahkan lebih dari 23 ribu ekor mamalia laut ini ditangkap untuk
kebutuhan makanan dan permintaan wahana pertunjukkan.
Dengan alasan sebagai hama perkebunan sawit,
species orang utan juga diburu dimana mana. Bahkan sebuah media massa pernah
memberitakan perusahaan perkebunan yang memberikan upah 1-2 juta rupiah bagi
setiap kepala orang utan. Bayi orang utan yang tak berdaya dibiarkan hidup dan
dibawa ke kandang buatannya yang hanya berukuran dua kali depah tangannya.
Beberapa mungkin berada di kandang tepat di belakangku.
Ribuan jenis bangsa kami yang lain juga
mengalami hal yang sama. Kecenderungan yang ada adalah, makin langka suatu
jenis satwa, nilai jual dari daya tarik pertunjukkannya akan semakin tinggi.
Hal ini mengakibatkan perburuan jenis jenis satwa yang langka umumnya dalam
rentang yang sangat tinggi.
***
Kebun Binatang, 10 Agustus 2012
Curahan hatiku kali ini disemangati oleh berkah peringatan hari konservasi alam nasional,
10 agustus. Mengkonservasi setiap
jenis bangsa kami dapat berarti ekspresi kebiasaan hidup dan kemampuan adaptasi
berdasarkan imajinasi dan kreasi yang
bersifat mandiri. Merupakan kontrol indevenden dari susunan otak kecil yang kami
miliki. Inti dari setiap gerak kami adalah kebebasan yang sangat merdeka.
Mungkin kalian sebagai makhluk yang paling
lihai berpikir tak pernah mempertanyakan. Apakah aksiku menendang bola, sahabatku
lumba lumba yang mahir loncat melewati lingkaran api, monyet tak berdaya dalam
topeng dengan terampil menabuh
genderang mungilnya serta aksi aksi luar biasa lainnya yang dilakukan satwa
merupakan keinginan alami kami tanpa tekanan dan paksaan ?.
Jika anda pernah mendatangi pentas lumba
lumba atau singa laut, perhatikan dengan seksama tangan sang pawang. Ada
beberapa ekor ikan segar digenggamannya. Setiap aksi sang lumba lumba selalu
dihadiahi dengan makanan tersebut. Ya, demikinlah metode pelatihan mereka
selama bertahun tahun. Jika lumba lumba diinginkan mahir melompati lingkaran
api atau bersalto dengan ketinggian tertentu, maka taruhlah makanan mereka
dekat dengan lingkaran api tersebut atau pada ketinggian dan sang lumba lumba
akan loncat menjangkaunya.
Bisa kalian bayangkan bahwa setiap akan
memulai pertunjukkan, lumba lumba tidak akan dibiarkan dalam keadaan kenyang.
Beberapa saat sebelum beraksi, lapar harus menjadi syarat jika menginginkan
mereka beraksi agresif untuk mendapatkan hadiah beberapa ekor ikan itu.
Bagaimana denganku di masa pendidikan ?. Pada masa pelatihanku,
kaki mungilku diikat dengan tali dan rantai kemudian ditarik sedemikian rupa
untuk pembiasaan pada satu gerakan. Badanku dipaksa duduk, baring ataupun
menari bak goyang bebek yang lagi
trend. Jika malas dan tak patuh maka kait besi sang pawang siap dengan sigap
menusuk dan memukul badanku. Pada akhirnya Instingku terbentuk dalam rasa takut
akan siksaan jika berprilaku diluar keinginan sang pawang.
Membuat sarimin
bisa pergi ke pasar dengan naik sepeda juga bukan hal yang mudah. Sahabatku ini
mengisahkan bahwa sang pawang juga demikian menyiksanya. “Monyetnya kadang
dirantai bos, iming iming dapat makanan atau dipaksa bekerja dengan dipukul,
semuanya dilakukan dengan penuh sayang…”. Demikian kata pawangnya saat ditanya
salah satu tim investigasi sebuah stasiun TV.
***
Kebun Binatang, 28 November 2012
Kudengar hari ini diperingati sebagai hari
menanam pohon di negeri ini. Senang mendengarnya. Bukankah dengan demikian akan
semakin banyak pohon yang tumbuh. Akan semakin banyak pilihan dahan tempat
bertengger bagi sahabatku kakatua jambul kuning dan elang bondol. Tetapi, jika
kemudin mereka ikut diburu dan dipaksa tinggal dalam sangkar, siapa yang akan singgah bertengger ?
Pagi ini, aku berusaha menegakkan kakiku.
Berdiri semampu yang aku bisa. Sudah sekian lama kakiku yang sebelah depan
bagian kanan selalu kram. Pengaruh
terkilir saat didorong paksa naik ke sebuah truk container yang akan berpindah ke kota tujuan pertunjukkan sirkus
selanjutnya.
Setidaknya aku mungkin bisa bersyukur, masih
bisa jalan jalan ke beberapa pelosok negeri bersama rombongan manusia yang kuhidupi dari keahlianku bermain sepak
bola gajah. Tetapi beberapa konsekuensi juga harus kuterima, aku tak boleh
menolak tampil di lapangan bola yang panas terik, tak boleh mengamuk
ditempatkan dalam kandang sementara yang dibuat seadanya. Tempatku meringkuk
sejenak yang sangat sempit, menunggu penampilan selanjutnya yang kadang hingga
2 kali seharinya. Tak ada kata letih ikuti keinginan sang Manager untuk berpindah dari kota pertunjukkan yang satu ke kota
lainnya.
Aku membayangkan, seyogyanya rumah terbaik
bagi kami adalah alam lepas. Tempat kami dapat mengekspresikan segala macam
keinginan secara alami. Tanpa batas ruang yang membatasi. Berinteraksi aktif
dengan segala faktor penyusun ekosistem pada habitat alami. Bukan dalam kandang
buatan berukuran tertentu. Sebab, saya yakin. Tak ada bangsa manusia yang akan
tenang dan betah, hidup bertahun tahun dalam kamar berukuran sempit tanpa
sekalipun bisa lepas keluar jalan jalan berpesiar
sebagaimana seharusnya.
***
Kebun Binatang, 31 Desember 2012
Tak banyak yang kupikirkan hari ini, kecuali
teringat tanggal 16 di bulan maret itu. Jika aku tak keliru, itu hari rimbawan.
Saat pertunjukkan sirkusku di hampiri seseorang yang berbaju seragam krem,
berlambangkan logo kementerian bergambar sketsa pohon rindang yang biasanya
jadi rumah sahabatku, rangkong (aceros
cassidix) yang juga telah lama hilang.
Beliau kuyakini tidak datang untuk turut
memberi aplaus pada setiap aksiku, binar matanya bisa kubaca, sedang memastikan
bahwa satwa yang disirkuskan amat
sangat tersiksa. Dan kepadanya kutitip asaku
di lembaran awal tahun, agar anak cucuku dan semua keturunan bangsa satwa liar,
lepas bebas di alam. Semoga..??
***
0 Comments:
Post a Comment